Mau Tahu Resensi Film Haji Backpacker? Baca Disini! 19.08


Film Haji Backpacker telah selesai dibuat dan segera tayang secara serempak di bioskop tanah air mulai tanggal 2 Oktober 2014. Namun penayangan perdana film ini sudah dilakukan pada tanggal 27 September 2014. Bagi anda yang belum sempat menonton atau yang ingin menonton atau yang ingin download film Haji Backpacker ini, atau mungkin sekedar mencari link download film Haji Backpaker, saya coba untuk menuliskan resensi film Haji Backpacker disini ya...
http://andhikaramdhan.blogspot.com/2014/09/mau-tahu-resensi-film-haji-backpacker.html

http://dik2.multiply.com/ 23.42
Ketika Cinta Bertasbih 2 19.20

Resensi Oleh : Dikdik Andhika Ramdhan

Bermula dengan penuturan tentang keindahan suasana dini hari di Pesantren Darul Quran, Kang Abik berhasil mengajak pembacanya untuk seakan memasuki satu demi satu alur cerita di bagian kedua dari karya dwilogi Pembangun Jiwa-nya "Ketika cinta Bertasbih" ini.

Kehadiran seorang gadis jelita dengan kekhusyuan ibadahnya di sepertiga malam terakhir itu, telah memperkuat karakter ia, seorang mahasiswi terbaik di Al Azhar University, ialah Anna Althafunnisaa. Seorang putri dari Kiai Lutfi pemilik pondok pesantren Daarul Qur'an.

Kisah berlanjut dengan pemaparan suasana kegundahan hati seorang master lulusan terbaik pula dari Universitas tertua di dunia itu. Furqan. Tentunya kita masih ingat ia ketika disaat-saat kebahagiaan ia akan keberhasilannya meraih gelar master, ia juga harus rela menyandang predikat sebagai pengidap HIV di Ketika Cinta Bertasbih (KCB) 1.

Kegundahan hati itu terus berlanjut walaupun sampai ketika Anna menerima pinangannya dari Furqan. Ia bagai berada di ujung sebuah tebing kebimbangan, antara meneruskan ke jenjang pernikahan atau membatalkan semuanya.

Sampai akhirnya, pil pahit harus ditelan oleh banyak dari para pria yang selama ini menaruh hati pada Anna Althafunnisaa. Tak terkecuali Khairul Azzam, seorang mahasiswa Al Azhar yang baru dapat menyelesaikan kuliahnya setelah hampir 9 tahun lamanya ia berada di negeri para nabi itu. Pada bagian kedua karya dwilogi ini diceritakan tentang kepulangan Azzam yang disambut bahagia oleh keluarganya. Banyak perubahan yang terjadi pada kehidupan keluarga Azzam jika dibandingkan dengan kehidupan 9 tahun yang lalu sebelum ia berangkat menunaikan cita-cita. Salah seorang adiknya yaitu Ayatul Husna kini telah menjadi seorang cerpenis remaja yang mendapatkan penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional Indonesia.

Keberadaan tokoh-tokoh sebelumnya di KCB 1, serta hadirnya tokoh-tokoh baru di KCB 2 semakin membuat karya ini terasa begitu wah. Bahkan menurut saya pribadi jika dibandingkan dengan KCB 1, KCB 2 ini jauh lebih bagus dalam segi penuturan kisahnya.

Ada beberapa cerita yang telah usai di KCB 1 dan tidak sedikitpun tertulis kembali di KCB 2, seperti halnya kisah kekecewaan Fadhil ketika seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, yang ia pernah harapkan dapat menjadi belahan jiwanya ternyata menikah dengan sahabatnya sendiri.

Konflik tajam terjadi pada beberapa bagian dari novel ini, diantaranya pada shubuh hari ketika terjadi keributan di rumah Azzam, disana diceritakan tentang seorang paman yang akan menembak dan membunuh keponakannya sendiri. Kemudian klimaks cerita ini terjadi ketika terjadi kecelakaan dimana yang menjadi korbannya adalah Azzam dan Ibunya, mereka terpelanting jatuh dari atas sepeda motor karena tertabrak bus yang ugal-ugalan, sampai akhirnya Azzam harus rela berbaring di rumah sakit menderita patah tulang, sementara ibunya berpulang menghadap ke hadirat Alloh SWT.

Ada raut kesedihan disana, padahal saat musibah itu terjadi adalah hanya berselang 4 hari sebelum pesta pernikahan Azzam dengan seorang dokter dari Kudus.

Ada banyak kisah yang terjadi secara tiba-tiba diluar dugaan para pembaca. Namun secara keseluruhan, kesinambungan cerita dari satu tokoh yang ditampilkan dengan tokoh lain di bagian lainnya, masih tetap menjadi satu ciri khas dari karya-karya kang abik, yang mampu membuat decak kagum para pembacanya.

Selain dari kuatnya alur serta penokohan dalam KCB 2 ini, kang abik juga masih terlalu lihai menceritakan keseharian dalam kehidupan pesantren, tentunya ini mungkin karena sesuai dengan latar dari kehidupan kang abik itu sendiri. Kemudian, satu persatu keilmuan tentang fiqih, aqidah, dan lain sebagainya tetap menjadi suguhan utama yang beliau munculkan dalam bagian cerita ini, tanpa sedikitpun membuat para pembaca merasa digurui.

Bukan hanya kisah cinta, nilai-nilai semangat wirausaha atau jiwa entrepreneurship yang dimiliki Azzam, masih berlanjut di KCB 2. Bahkan nilai inovatif serta kerja kerasnya telah mengantarkan ia menjadi salah satu pengusaha muda dari kota Solo.

Jika dibandingkan dengan bagian sebelumnya, KCB 2 ini memang jauh lebih diperuntukkan bagi kalangan dewasa. Keromantisan sebuah pasangan suami istri dimunculkan melebihi apa yang pernah muncul di Ayat-ayat Cinta.

Namun alhamdulillah, akhirnya semua berlalu dan berakhir pada satu hal yang justru jauh tidak terbayangkan sebelumnya. Satu kisah cinta Khairul Azzam dengan Anna Althafunnisaa menutup akhir cerita ini dengan manis.

Semoga kisah ini kembali menjadi satu jalan kebangkitan ummat untuk kembali mengenal kemuliaan Islam. Aamiin yaa Robbal'alamiin ...

Saatnya Menjadi Bagian Dari Orang-orang Aneh 18.28

Bismillaahirahmaanirrahiim,

Kalau anda membayangkan sebuah tempat nyaman di ibu kota ini, dimana disana penuh dengan kesejukan, bertaburan dengan wewangian serta sarat akan alunan-alunan nyanyian, maka sebuah bangunan megah yang belakangan ini semakin semarak saja di kota Jakarta ini adalah menjadi salah satu jawabannya. Pusat perbelanjaan yang seakan-akan menjelma sebagai sebuah mesin baja yang lambat laun bisa menggilas sektor perekonomian masyarakat kecil di pasar-pasar tradisonal ini memang semakin menjamur saja keberadaannya.

Banyak orang kini memilih tempat itu sebagai sarana pemenuhan kebutuhannya. Seperti juga sore itu.

Sebuah jam digital yang melekat dilengan ini hampir saja bertambat di angka tiga. Matahari memang sudah mulai condong ke arah barat sejak beberapa saat yang lalu. Riuh para pengunjung seakan melengkapai ramainya suasana di pusat-pusat perbelanjaan ibu kota biasanya. Apalagi seperti menjelang akhir pekan seperti ini.

Mengunjungi sebuah toko buku yang letaknya berada di lantai dasar pusat perbelanjaan itu memang mengharuskan kami untuk bergabung bersama mereka. Merasakan degup-degupnya musik dan nyanyian didalamnya.

Yang menjadi menarik adalah ketika kami selesai dari toko buku itu. Ketika kami memutuskan untuk melaksanakan sholat ashar dulu, karena daripada mencari mesjid di luar sana yang pastinya akan memakan banyak waktu lagi, maka kami memilih untuk menanyakan keberadaan mushola di pusat perbelanjaan itu.

Sesaat kami mengitarkan pandang ke hampir seluruh penjurunya. Namun satupun tak kami dapati tulisan penunjuk yang menunjukkan keberadaan mushola itu. Akhirnya kami coba mendekati seorang petugas security untuk menanyakan keberadaan mushola itu.

"Ada di lantai 4 mas", ujarnya.

Segera saja kami bergegas menuju sana. Lift yang biasanya penuh sesak, mengharuskan kami untuk berpindah untuk lebih baik menggunakan escalator saja.

Sesampainya di sana kami kembali mengelilingkan mata kami untuk mencari keberadaannya. Namun tetap nihil. Sampai akhirnya setelah kami berkeliling dan bertanya kesana kemari, tempat itupun kami temui. Sebuah tempat berupa ruangan kumuh dengan ukuran tidak lebih dari 3 x 3 meter, serta cat-catnya yang mulai mengelupas. Dan letaknyapun berada dipinggir lahan parkir, serta hanya bisa ditemui setelah kita keluar arah dengan mengikuti penunjuk jalan yang bertuliskan "E X I T" dari bagian dalam pusat perbelanjaan itu.

"Hhhhhhh ...."
Kami menarik nafas panjang saat itu.

Jauh ..., jauuh sekali jika dibandingkan dengan ruangan-ruangan yang baru saja kami lewati. Dimana disana kenyamanan bagaikan surga dunia menjelma, namun ternyata di sebuah tempat yang justru mereka katakan sebagai sebuah mushola ini ternyata kondisinya sangat amat jauh berbeda sekali.

Beberapa lembar sajadah lusuh yang berada disana serta lembar-lembar mukena dan kain sarung yang ada disana pun warnanya sudah memudar menghiasinya.

Akhirnya kamipun menunaikan ashar disana. Selalu ada keharuan dan kekaguman ketika ternyata tidak hanya kami yang berada disana saat itu. Ada beberapa saudara-saudara muslim lainnya yang juga telah menunggu giliran untuk melaksanakan sholat disana. "Alhamdulillah, setidaknya masih ada ummat-Mu yang merindukan kehadiran tempat ini untuk bermunajat pada-Mu yaa Rabb ...".

Tapi jujur, masih terbayang saat-saat kami menanyakan keberadaan mushola itu beberapa saat sebelumnya. Beberapa orang terlihat sepertinya memicingkan matanya ke arah kami. Wallahu'alam, mungkin entah aneh atau apa yang jelas itu membuat kami merasa lucu dibuatnya.

Ternyata benar, mungkin kiamat semakin dekat. Banyak hal-hal yang dulunya biasa sekarang dianggap menjadi sesuatu yang aneh dirasakannya. Seperti halnya keinginan untuk menunaikan kewajiban sholat waktu itu. Sebaliknya banyak hal-hal yang dulu dianggap aneh tapi kini ternyata malah dianggap seakan biasa saja, seperti halnya mengenakan pakaian yang serba minim, mengubar aurat dimana-mana bahkan dari pakaian-pakaian mereka penuh robekan dan tambalan disana-sini.

Entahlah, yang jelas, mari saatnya kita beramai-ramai menjadi bagian dari orang-orang aneh disini. Dimana kita masih bangga untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai ummat yang mengharap ridha dan rahmatnya.

Wallahu'alam bish-shawab ...

Seruan Dakwah di Ribuan Menara Ibu Kota 18.21

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Memang mungkin seharusnya hanya ada satu jawaban untuk kita kemukakan, ketika sebuah pertanyaan menggantung dalam benak dan pikiran kita. "Haruskah kita berhenti berharap untuk bisa membentangkan kembali panji-panji Islam di muka bumi ini?". Dan jawaban itu adalah tentunya, "T I D A K".

Kami dibuat tertegun saat itu. Mencoba memutar balik segala ingatan tentang semua ini. Dimana berbagai ujian dan cobaan menghadang perjalanan panjang perjuangan ummat Islam untuk kembali meneriakan takbir tanda kejayaan Islam. Beribu tanda tanya segera seakan menyergap dan membantah di benak kami, "Bukankah telah banyak bukti akan kehancuran ummat ini?" lalu "Bukankah pula sudah terlalu banyak kemerosotan akhlak terjadi disana-sini?".

"Jika memang seperti itu, masihkah ada celah kecil untuk Islam mengorek kembali hingga akhirnya memungkinkan untuk seakan menjadikan terbukanya kembali sebuah pintu untuk menghadirkan kejayaan Islam terlahir kembali?"

Kami menarik nafas panjang saat itu. Lantai ke 52 yang digunakan untuk khusus pelaksanaan sholat jumat di sebuah gedung megah di ibu kota itu tampak semakin hening. Sang khatib masih berdiri di depan para jamaah jumat. Sepi, bahkan layaknya sebuah tempat yang tak berpenghuni kini tempat itu menjelma. Para jamaah dibuat berpikir keras untuk memahami semuanya.

"Saudaraku. ... tentunya masih ada harapan untuk semua itu".
"Bahkan insyaAlloh, akan terus ada dan tak akan pernah hilang, sebelum Alloh mengakhiri segala babak di dunia yang fana ini ...", lanjut sang khatib menyisir kembali isi khutbahnya.

"Pernahkah kita membayangkan sepuluh tahun yang lalu, atau mungkin dua puluh tahun yang lalu, bahwa saat ini, detik ini, berpuluh, beratus, bahkan beribu jamaah akan membentangkan sajadah-sajadah panjangnya untuk menghadap Ia sang Rabb pencipta. Atau mungkin berpuluh, beratus, bahkan beribu jamaah akan dengan setia penuh penghambaan menengadahkan tangannya untuk meminta segala harap dan memanjatkan selaksa do'a di lebih dari ratusan menara yang kini hadir di ibu kota ini, seruan-seruan adzan hadir bukan hanya dari menara-menara mesjid namun juga dari menara-menara gedung perkantoran kita?".

"Bangkitlah saudaraku ...!"
"Percayalah Alloh masih bersama kita, janganlah cepat berputus asa".
"Bukankah dibalik setiap kesulitan maka akan selalu hadir kemudahan daripadanya?"

Khutbah jumat siang itu seakan menyadarkan kami kembali akan makna kepercayaan diri ummat ini. Bukan untuk menyerah begitu saja, namun yang jelas, yang terpenting adalah seberapa jauh dan seberapa besar usaha serta upaya kita dalam berperan serta menegakkan kembali kalimah thayyibah di bumi ini.

Saya jadi teringat dengan cerita ibu-ibu guru di madrasah dulu, yang menceritakan begitu sulitnya dulu mereka untuk mendapatkan sebuah izin saja ketika ingin mengenakan sebuah kain kecil penutup kepala sebagai tanda akan bukti penghambaan mereka sebagai kaum hawa. Dan lihatlah kini, bukankah kini tdak hanya sekedar kain kecil, andaikan mereka menginginkan sebuah jilbab panjang nan lebar untuk melekat menutup rapi rambut-nya hingga ke sebagian tubuhnya, maka itu menjadikannya bukanlah sesuatu yang mustahil kini?. Tak ada lagi larangan daripadanya.

Atau mungkin cerita kakek-kakek dulu ketika terpaksa harus berangkat ke mesjid dengan diiringi puluhan corong pistol yang siap mengantarkan peluru-pelurunya bakan sewaktu - waktu bisa saja menembus hingga kesela-sela otak. Dan kini semua itu telah hilang bahkan lenyap. Berganti dengan gemuruhnya suara-suara adzan ketika waktu-waktu sholat tiba. Beganti dengan berkibar-kibarnya jilbab-jilbab lebar dari saudari-saudari kita. Bahkan berganti dengan semaraknya seruan-seruan dakwah dari pelbagai penjuru menara kota.

Tentunya semua ini akan sangat kecil sekali terpikir ketika sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Namun, alhamdulillah ternyata disini Alloh menunjukkan kuasa-Nya. Tak ada yang tak mungkin bagi Ia perkenankan. Tak ada yang sulit bagi Ia pertunjukkan.

InsyaAlloh selama kita berusaha untuk semakin dekat dengan-Nya, maka Ia-pun akan senatiasa semakin dekat bersama menuntun dan membimbing kita. Menapaki hari-hari menuju ridha dan rahmat-Nya.

Bangkitlah, karena harapan itu masih ada ...

Wallahu'alam bish-shawab.

Tak Ada Alasan Untuk Mengalah 18.12

Oleh : Dikdik Andhika Ramdhan

Bismillaahirramhaanirrahiim,

Udara dingin yang menyergap ditengah pusaran kota intan telah mengantarkan waktu menuju hampir di tengah hari. Suasana riuh kehidupan kini perlahan menyurut di sayyidulayyam itu. Para pedagang yang beberapa waktu lalu masih bergelut dengan sejuta aktifitasnya kini mulai meninggalkan lapak-lapaknya. Jalanan kini mulai terasa lenggang. Hanya beberapa saja orang yang berada disana untuk segera berjalan menuju ke arah masjid raya.

Tak ada lagi kini beda antara pakaian atau penampilan mereka, yang ada hanya satu yaitu seberapa besar tekad dan kuatnya langkah mereka untuk menggapai hidayah di satu titik suci di tengah peradaban kota. Tak ada langkah-langkah gontai mereka, yang ada dari mereka hanyalah berebut sambil hampir berlari menuju satu titik saja. Disana.

Dan aku berada diantara mereka saat itu. Sampai akhirnya kami temui pancuran-pancuran sejuknya air wudhu di salah satu koridor masjid itu. Jauh disebelah sana sandal-sandal berjejer rapi ditepiannya. Wajah-wajah basah yang kini terpampang hampir di seluruh jamaah semakin membuatku tenteram berada diantaranya.

Angin masih berhembus, dan udarapun tak lelah mengelus sejuknya suasana kota. Setelah kutunaikan dua raka'at tahiyatul masjid, segera kurapatkan barisan, bersama dengan mereka disana. Disudut sana sekelompok remaja segera melakukan hal yang sama, menunaikan takbiratul ihram, dan memantapkan pandang mereka untuk hanya menghadap kepada-Nya. Dilain shaf, seorang bapak tua masih tetap khusyuk menunaikan dzikirnya saat itu.

"Alhamdulillah ...", gumamku
Ada satu rasa tenang yang terpancar dalam dada ini, ketika mendapati orang-orang masih setia untuk berlomba meneguhkan hati dan jiwanya, menghadapkan raganya, hanya untuk Ia sang maha pencipta.

Tiba-tiba pandangku seakan berubah. Semilir yang sejak tadi menemani hari, kini seakan berubah menjadi deru panasnya suasana di jazirah sana. Puluhan para sahabat seakan tak berhenti berlomba untuk menunjukkan penghambaan terbaiknya saat itu. Ada yang sibuk dengan sunnah-sunnahnya, ada yang sibuk dengan dzikir-dzikir lembutnya, bahkan diantara mereka ada pula yang sibuk berdiskusi memecahkan permasalahan ummat diantaranya.

Ya Rabb ...
Nikmat sekali berada disana. Masih terbayang risalah ketika ia sang Rasul Alloh menanyakan siapakah di hari itu yang telah berbuat kebajikan. Para sahabat berebut mengacungkan tangannya, pertanda mereka telah melaksanakannya. Masih terbayang ketika ia sang Rasul Alloh menanyakan siapa yang hari itu tengah melaksanakan puasa sunnah. Para sahabat berebut mengacungkan tangannya, pertanda mereka tengah melaksanakannya. Masih terbayang ketika ia sang Rasul Alloh menanyakan siapa yang hari itu telah mendermakan sebagian hartanya untuk ia sedekahkan di jalan Alloh. Para sahabatpun ternyata berebut mengacungkan tangannya, pertanda mereka telah menunaikannya.

Subhanalloh ...

"Fastabiqul khairaat, Fastabiqul khairaat ...."
Berlombalah dalam kebaikan ....

Kini dingin telah kembali menyergap suasana. Menambah dinginnya diri yang seakan harus kembali malu atas segala khilaf selama ini. Telah banyak bahkan tak jarang kita senantiasa membiarkan diri untuk bergelut tanpa menyerah dalam persaingan duniawi, namun untuk kepentingan ukhrawi kita? Astaghfirullahaladzim ...

Kita seakan berhenti ketika ada orang lain yang akan berbuat kebaikan. Berhenti dengan mengucap, "Tafadhol ya akhi ...", mempersilakan orang lain untuk memulai mendulang pahala itu, tanpa kita seharusnya berlomba untuk melakukan hal yang sama atau kebaikan lainnya. Padahal mungkin semestinya, tak ada alasan untuk kita mengalah dalam setiap berlomba berbuat kebaikan itu.

Ya Rabb,
Ampunkan diri ini atas kelalaiannya. Ampunkan hati ini atas kekotorannya. Izinkan diri ini untuk senantiasa dapat mempersembahkan yang terbaik untuk-Mu. Tuntunlah langkah ini agar senantiasa bersama Rahman dan Rahiim-Mu. Kuatkanlah jiwa ini untuk selamanya terjauh dari secuilpun dosa dan maksiat yang dapat menjerumuskan kami kedalam neraka-Mu. Dan sampaikanlah kami untuk senantiasa berada bersama hamba-hamba terbaik-Mu, yang akan memacu semangat untuk beribadah kepada-Mu dan mengantarkan kami hingga nantinya bersama berada di Surga-Mu.

Aamiin yaa Robbal'alamiin ...

Ia, dan Ridha-Nya 18.12

Oleh : Dikdik Andhika Ramdhan

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Melewati suasana pagi di area pasar tradisional di kota besarpun ternyata tak ubahnya seperti di pasar-pasar tradisional di daerah pada umumnya. Puluhan pedagang tumpah ruah ke hampir seluruh pinggiran jalan di sekitarnya. Mereka berlomba mengais rezeki untuk dapat menyempurnakan ikhtiar dalam menyambung hidupnya.

Puluhan mata lelah masih tetap terjaga setelah jauh-jauh waktu semenjak dari sebelum shubuh tadi mereka sudah berada disana. Puluhan tubuh-tubuh layu masih berdiri bagaikan pagar yang membentuk barisan untuk bersiap menyambut datangnya para pembeli. Bahkan puluhan bibir-bibir kaku yang seharusnya tengah berada diantara hangatnya minuman-minuman pelepas dinginnya suasana, kini ternyata malah berlomba berteriak memanggil datangnya mereka untuk hanya sekedar menjajakkan barang-barang dagangannya.

Apapun itu, rasa lelah dan letih dari mereka telah mengantarkan pada satu jalan hidup. Yang akan menghiasi perjalanan panjang dalam menuju kehidupan yang lebih layak nanti di ahirat sana.

Namun, selalu saja ada yang mengusik keberadaan mereka. Ketika mereka mencoba untuk menikmati semuanya, ada orang yang seakan bertingkah layaknya para penguasa yang memiliki segalanya. Ia datang dan menggeretak para pedagang untuk hanya meminta uang dari mereka. Para preman yang seharusnya memang tak ada hak darinya. Wajah bengisnya seolah tak pernah memahami bagaimana rezeki itu didapat dengan susah payah. Setelah seuntai perjalanan mengiring mereka pada satu cerita berlatarkan dinginnya suasana.

Sayang memang. Ternyata sampai hari inipun masih banyak orang yang belum dan bahkan tidak pernah mau mencoba memahami makna akan perjuangan hidup orang lain.

Namun ada satu hal yang menarik bagiku saat itu. Mereka para pedagang meskipun dengan ketidakikhlasan mereka, akhirnya merekapun memberikan apa yang diminta oleh para preman tersebut. Satu kata yang patut digaris bawahi disini adalah : "ketidakikhlasan".

Aku memutar balik semuanya. Andaikan kita sebagai seorang ummat manusia yang juga kadang berlaku tak jauh dari mereka para preman itu. Meminta pada Ia sang khalik untuk senatiasa memberikan segalanya kebutuhan kita, tanpa meminta ridha Alloh atas segalanya, tentunya tak ada satupun kuasa yang sulit untuk Ia mengabulkan segalanya. Memberikan apapun yang kita minta, memberikan apapun yang kita butuhkan, tanpa sedikitpun memberikan keridhaan atas apa yang dianugerahkannya pada kita. Na'udzubillah ...

Pantaslah ketika para ulama berujar bahwa seorang hamba semestinya mendahulukan memohon ridha Alloh atas segala kebutuhannya. Bukan mendahulukan memohon segala apa kebutuhannya. Apalagi sampai lupa bahkan melupakan untuk meminta diberikan ridha atas segalanya. Karena apapun bentuknya segala apa yang diberikan Alloh pada kita, jika tidak disertai dengan ridha Alloh atasnya, bagaikan satu tubuh yang hidup namun hanya lunglai berdiri tanpa nyawa padanya, tak ada sedikitpun barokah didalamnya.

Ada rasa malu yang menyeruak dalam dada ini. Bagaimana tidak?, bukankah sederet barisan panjang permohonan dan permintaan kita pada Alloh seakan senantiasa menguntai, menghiasi setiap hari dalam kehidupan kita? Bukankah berjuta keinginan dan kebutuhan kita senantiasa kita tuangkan dalam ratusan bahkan ribuan paksaan untuk disegerakan atas pengabulan dari-Nya? Namun sayangnya ternyata terlalu sering kita tergesa dalam memohon segalanya. Memohonkan tanpa satu kata untuk memohon juga ridha atas segala apa yang kita mohon dari-Nya.

Memang Alloh memerintahkan kepada kita untuk senantiasa berdo'a padanya, memohon atas segala kebutuhannya.

"Ud’uuni astajib lakum"
Berdo’alah kepada-Ku niscaya akan Ku perkenankan bagimu.

Namun, pantaskah jika kita meminta dengan tanpa memohonkan pula segala ridha atas kehendaknya? Pantaskah kita memohonkan tanpa disertai meminta ridha atas perkenannya?

Ya Rabb ...
Kiranya kami seharusnya semakin mengerti, mungkin jika sampai saat ini, sampai hari ini, masih banyak pinta kami yang belum Engkau perkenankan bagi kami. Maka mungkin Engkau sedang mempersiapkannya untuk kami agar segalanya disertai dengan keridhaan-Mu. Bukan anugerah yang engkau kabulkan tanpa sedikitpun kasih sayang rasa tulus dalam pemberian-Nya. Sehingga apapun anugerahnya, akan senantiasa menambah keberkahan dalam hidup kami para hamba-Mu ...

Wallahu'alam bish shawab.