Karena Aku Bukan Fahri ! 17.39

Oleh : Dikdik Andhika Ramdhan


Bismillaahirrahmaanirrahiim,


Udara memang begitu panas. Matahari tak kalah teriknya bersinar dan menari-nari diatas kepala. Sesekali terpaan angin menghembus menusuk badan seakan mengepulkan asap dan menyemburkan aroma bau dari neraka.

Ruangan sempit berukuran 3x3 meter telah menghimpit ruang waktu dalam satu sisi hidup. Aku berjalan menuju arah jendela, tidak lebih dari tiga langkah dari tempat awalku berada.

Aku terdiam.

Dari sana aku dapat melihat bangunan kotak-kotak, namun bukan bangunan kotak berwarna putih, hanya bangunan kotak yaitu gedung-gedung perkantoran yang berlapis kaca. Ya... karena ini bukan flat-nya fahri di negeri kinanah sana, namun ini hanya kamar kontrakanku yang berada diantara sekian bangunan yang terhampar di kota Jakarta.

Aku rebahkan tubuh ini. Sesaat kemudian keringat mengalir dari sela-sela pori seakan sebuah mata air yang meliuk diatas tanah yang gersang.

Sebuah dering berbunyi dari ponselku, aku baca, ternyata sebuah alarm pengingat atas sebuah janji yang pernah aku buat dengan seseorang. Ah, aku hampir terlupa. Ya... itu karena aku bukan Fahri, yang senantiasa memperhitungkan segala rencana yang akan ia lakukan dalam hidupnya.

Aku beranjak dan berkemas. Tidak ada kacamata hitam, tidak ada tas cangklong yang biasa menemani seorang Fahri, hanya sebuah tas ransel berwarna hitam yang kini melekat di punggung serta sebuah kacamata bening berbingkai yang sesaat kemudian berada di wajahku. Ya... itu karena aku bukan Fahri.

Sampai di halaman, tidak ada suara Maria yang memesan dibelikan disket dari arah atas kamar kost-ku, karena tak ada lagi kamar diatas kost-ku. Lagi-lagi aku katakan bahwa itu karena aku bukan Fahri, yang memiliki tetangga dari kalangan kristen koptik yang sangat menaruh hormat pada tetangganya. Tetanggaku hanya sepasang suami istri yang kamar kost-nya berada disamping kamarku, perbincangan kamipun tak banyak tercipta karena mungkin entah aku ataupun mereka terlalu sibuk dengan masing-masing aktifitasnya.

Matahari masih menyala-nyala, menebarkan aroma bau dari neraka. Aku berjalan menuju sebuah masjid hendak menunaikan dzuhur yang sesaat lagi akan menjelang. Sesaat kemudian dzuhur tiba. Tak ada syeikh muda yang dengan tegapnya memimpin kami sholat berjamaah, hanya seorang ustadz tua yang sesekali mesti terbatuk dalam sela-sela gerakan shalatnya.

Usai berjamaah aku lanjutkan perjalanan menuju sebuah halte dan menunggu sebuah metromini yang akan membawaku menuju sebuah tempat pertemuan. Tidak ada metro, tidak ada seorang kapten yang menjual karcis untuk menaiki metro. Yang ada hanyalah seorang bapak yang telah berkeluh dengan keringat menghampiri kami satu persatu penumpang, menagih ongkos perjalanan dari kami. Aku sadar betul ini semua, ya... ini karena aku bukan seorang Fahri.

Beberapa lama aku berada didalamnya tak ada tiga orang bule berpakaian dengan corak bendera amerika masuk kedalam metromini. Hanya seorang kakek tua yang dipapah oleh seorang bocah kecil menuju sebuah kursi didepan sana. Ah... aku makin mantap, ini karena aku bukan seorang Fahri.

Seorang akhwat berjilbab masuk. Ia hanya terdiam. Tak ada percakapan dalam bahasa Inggris yang fasih, tak ada perkenalan darinya bahwa ia berasal dari negeri Jerman. Sesaat tak lama kemudian ia turun kembali. Hanya sebentar. Dan itu cukup memperkuat pernyataanku, bahwa ia bukan Aisha. Ya... karena akupun bukan seorang Fahri, gerutuku dalam hati...

Selama perjalanan tak ada mahasiswa-mahasiswa yang dengan khusyuk dan asyik membaca mushaf Al Quran, menghapalnya berulang-ulang dalam sela waktunya. Yang ada hanya obrolan-obrolan yang entahlah akupun tak begitu memahaminya. terlalu banyak istilah yang terasa asing dalam pendengaranku.

Sesampai ditempat yang telah dijanjikan aku menunggu untuk beberapa waktu. Menunggu dan menunggu. Sampai akhirnya waktu telah banyak berlalu ...

Ternyata benar, ini bukan cerita itu. Dan akupun bukan seorang Fahri yang mendatangi seorang Syeikh Utsman untuk talaqi Qira'ah Sab'ah. Dan ia yang telah membuat janji denganku pun bukan ia, syeikh Utsman yang meski dalam cuaca begitu panasnya, namun masih tetap memegang teguh janjinya.

Hingga akhirnya aku kembali dengan tangan hampa. Kembali menuju satu ruangan 3x3 meter yang telah menghimpit satu ruang waktu dalam hidupku. Hingga menyadarkan sepenuhnya bahwa aku bukan Fahri ...

Dan aku kembali terdiam. Haruskah kita hanya selesai berkata, bahwa kita bukan dia seorang yang memiliki banyak sikap dan sifat terpuji, yang padahal sepatutnya untuk kita teladani?

Seperti halnya ketika kita berbicara tentang ia sang Rasul Alloh, kita hanya berhenti berujar bahwa kita tak mungkin bisa mengikuti kemuliaan akhlak beliau tanpa kita pernah mencoba untuk mengikuti jejak langkahnya? Mengikuti jejak langkah orang lain tak ada salahnya selama apa yang kita ikuti adalah suatu hal yang memang pantas untuk kita teladani.

Mari kuatkan dan azzamkan dalam hati. Kita mulai dari diri sendiri untuk berusaha mengikuti jejak-jejak langkah orang yang patut kita teladani, tanpa kita menghilangkan identitas diri sebagai pribadi diri kita sendiri.

Wallahu'alam bish-shawab

0 komentar: