Berguru Pada Sejulur Akar ... 01.34

Oleh : Dikdik Andhika Ramdhan

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Senja di hari itu, awan hitam berarak dan kini hampir menutupi seluruh angkasa. Keriangan suasana berubah dalam sesaat. Matahari bersembunyi dibalik kelam, sementara rintik hujan segera menghambur ceria diatas hamparan alam raya.

Bulan februari ini memang seakan mengantarkan kami akan satu lagi bukti kemahaan Ia sang Kuasa. Dimana dalam sekejap mata saja kuasa-Nya telah mampu membolak-balikkan segalanya. Cuaca antara ceria dan kelamnya suasana seakan menjadi dua sisi yang begitu mudahnya Alloh pergantikan untuk kami tafakuri.

Perlahan titik-titik air hujan itu semakin deras dan bersatu dalam lebat. Seorang bapak tua berusia kira-kira lebih dari lima puluh tahunan berlari menghampiri sebuah pohon tinggi di tepi jalan itu.

Berlindung dibalik rindangnya dedaunan di musim penghujan memang menjadi satu pilihan bagi para musafir yang berada ditengah perjalanan seperti itu. Meski memang tak seutuhnya melindungi ia dari terpaan hujan, namun setidaknya telah mengurangi ia dari basah kuyupnya guyuran air hujan.

Aku menatap kearahnya. Sebuah pohon yang dengan tegap berdiri dan kokoh diantara terpaan deru angin dan guyuran hujan di senja itu. Hanya beberapa kali saja terkadang dedaunan itu bergoyang dan meliuk terbawa alunan alam. Sedangkan batang pohonnya tak sedikitpun tergoyahkan. Ia berdiri dengan angkuh menjulang tinggi hingga bagai membelah luasnya langit senja.

Tidak hanya dalam hujan. Ketika sang surya memanggang suasana ditengah teriknya hari-pun, ia sang pohon selalu mampu berdiri angkuh dan bertahan. Atau mungkin ketika angin berhembus, para dedaunan dengan indahnya menari, sambil diringi nada-nada dari ranting-ranting yang terkadang beradu. Mungkin jikalah mereka sanggup berkata, mereka akan berujar bahwa, "Inilah aku, yang dengan kerindangan daunku telah mampu menjadikan kalian para manusia berada dalam perlindungan tubuhku, yang dengan tegap tubuhku telah mampu menopang segala beban yang ada dipundakku, bahkan yang dengan eloknya tarianku telah mampu membuat decak kagum para pengagumku".

Memang, mereka layak berujar demikian, dan memang pula tak salah, kuasa-Nya telah menjadikan pohon-pohon rindang itu menjadi bagian penolong bagi kita para manusia disaat tak ada lagi tempat untuk kita berteduh.

Namun, sejenak aku justru dibuatnya tersenyum dengan kesombongan batang pohon dan dedaunan itu. Aku melirik ke arah sejulur akar dibagian bawah pohon itu yang menghunjam kedalam tanah. Seakan tersipu malu, ia menelusup kedalamnya. Dengan rendah hatinya ia lebih baik menghindar dari pandangan orang sekitar. Ia tidak mau membuka dirinya berlebihan apalagi hingga menyombongkan.

Kiranya seperti itu memang selayaknya kita. Disaat apapun yang telah kita perbuat bagi orang lain, kita akan lebih dikagumi jika mampu menahan diri untuk menyembunyikan identitas kita, bukannya malah menyombongkan diri dan seakan berteriak lantang pada semua orang, bahwa apa yang terjadi, semua karenaku. Kalaulah bukan aku, tak mungkin semua bisa terjadi.

Layaknya julur akar-akar pohon tadi yang memilih untuk diam dan menyembunyikan diri atas apa yang telah diperbuatnya. Padahal, bukankah jika dia berniat menyombongkan diri dia bahkan lebih layak daripada hanya sebatang pohon ataukah rindang daun-daun itu? Begitu banyak yang telah ia perbuat bagi kelangsungan hidup dan mati sebuah pohon. Dengan kekuatannya ia telah mampu menopang sampai setinggi apapun pohon itu tumbuh. Dengan kemampuannya ia telah mampu mencari sisa-sisa air yang kemudian ia jadikan jalan untuk ia edarkan keseluruh batang, ranting hingga dedaunan di pohon itu?

Namun apa yang terjadi? Ia sang akar tetap memegang teguh rasa rendah hatinya dengan tidak lalu kemudian mengambil peran dari batang ataukah ranting, apalagi dedaunan.

Disanalah ternyata kuasa Alloh telah mengajarkan kita kembali untuk bisa mentafakurinya. Membaca ayat-ayat kekuasaannya yang ia bentangkan dalam kehidupan ini. Maha suci-Mu yaa Rabb ...

Memang, tidak semudah kita membalik telapak tangan ini. Ketika diri berharap menjadi seorang yang pandai menata diri, menata hati. Namun, kiranya tiada salahnya jika kita memulai kembali membangun semuanya keagungan ahlaq itu pada diri-diri kita pribadi. Untuk kemudian semoga mampu menjadi contoh bagi yang lainnya.

Salah satunya dengan mencoba mengikuti jejak langkah sang akar yang sungguh mengagumkan tadi. Menjaga hati, tidak bersombong diri atas apa yang telah ia perbuat, meski kadang ia hanya diinjak dan dilupakan. Tapi tetap, disisi Alloh, jiwa-jiwa mereka yang seperti itu adalah jiwa-jiwa mereka yang memiliki predikat mulia.

Wallahu'alam bish-shawab.

0 komentar: