Tak Selamanya 18.10

Oleh : Dikdik Andhika Ramdhan

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Seperti biasa, sore hari di ibu kota masih harus dilengkapi dengan pemandangan kemacetan dimana-mana. Deru berbagai jenis kendaraan beroda semakin menambah bisingnya suasana. Debu yang meliuk-liuk diantara tingginya ribuan menara seakan tak pernah lelah menari dan berlari menghampiri kami disana. Sesekali aku harus rela menghirup kotornya udara dan terbatuk-batuk karenanya.

Sebuah bis melaju agak kencang menuju ke arah kami. Untuk kemudian berhenti menurunkan penumpang lama dan menggantinya dengan para penumpang baru, seperti layaknya sebuah bejana yang menumpahkan muatannya, lalu sejenak mengganti isinya dengan muatan yang baru.

Seorang laki-laki tinggi semampai berkaus putih terlihat mendendangkan sebuah nyanyian tua. Kulitnya yang juga putih bersih, serta penampilannya yang rapi terlihat seakan menjadikan ia tak pantas berada disana, di atas sebuah bis kota, menyandang predikat sebagai seorang pengamen jalanan ibu kota sambil mendendangkan sebuah lagu serta menanti uluran-uluran tangan dari mereka yang memberikan sekedar uang recehan semata.

Tak sedikitpun tergores raut kehidupan jalanan di wajahnya. Tak ada hitam legam kuit yang terbakar oleh panasnya surya. Tak ada kilat dikeningnya yang biasanya menandakan bahwa ia telah terbiasa berada disana, dalam kehidupannya. Yang ada hanya pucat dan rasa kelelahannya yang perlahan mulai terlukis dalam raut mukanya. Serta tetes-tetes keringat yang juga kini meliuk diatas pori kulitnya, seakan melengkapi segala penderitaanya.

Sesekali ia harus terseok sampai hampir terjatuh dalam langkahnya ketika bis berbelok atau berada dalam kecepatan yang maksimal. "Sepertinya memang ia bukan seorang pengamen ...", ujarku dalam hati waktu itu. Setidaknya mungkin ia masih baru menyandang predikat seperti itu.

Ada raut sedih dalam hati ini ketika, satu persatu raut senyumnya dengan mencoba tulus ia sampaikan kepada kami para penumpang yang menatapnya dengan sejuta nada heran akan keberadaannya. Mungkin saja ia beberapa waktu yang lalu adalah karyawan di sebuah perusahaan besar dengan penghasilan yang wah ..?, atau mungkin ia baru saja diberhentikan dari pekerjaannya?, atau juga mungkin ia seorang bussinesman yang gagal total dalam membawa usahanya menuju kesuksesan?, atau malah seorang manajer yang harus terpaksa mengundurkan diri karena demi kelangsungan kerja anak buahnya?

"Entahlah ..."
Dalam hati ini masih bergulat beribu tanya.

Yang jelas saat itu, aku hanya tahu sebuah jawaban daripadanya. Bahwa ternyata keberadaan kita, kestabilan hidup kita, kesuksesan karir kita, semua hanya bagaikan sehelai daun yang dengan indahnya melambai pada sebuah tangkai, lalu kemudian ketika angin berhembus dengan kencangnya suatu saat nanti membuatnya kemudian terlepas, dan terbang tak tentu arah. Sampai akhirnya mungkin terhempas dan jatuh dalam pijakkan kaki-kaki orang-orang yang berjalan angkuh di atasnya.

Tak akan pernah ada yang abadi. Semua hanya persimpangan sementara. Kehidupan selalu akan mengantarkan kita pada berbagai kondisi yang berbeda, serta tak pernah disangka dan diduga.

Semua hanya barisan-barisan rahasia dari-Nya, yang tak pernah dan tak akan pernah sedikitpun terbuka untuk diketahui para ummat-Nya. Ketika kita hanya mampu mengupayakannya, maka tetap hasil akhir dari segalanya adalah kuasa Alloh semata.

Mungkin juga lelaki tadi tak pernah membayangkan sebelumnya, kehidupan megah nan mewah yang mungkin saja sebelumnya senantiasa menghampiri dan menuliskan perjalanan hidup darinya, ternyata akan berakhir dan berganti dengan kotornya jalanan, kerasnya kehidupan serta bengisnya masa depan. Hingga akhirnya harus menyeret ia untuk berada disana, diantara ratusan bahkan ribuan pengamen jalanan yang setiap hari harus beradu ragu antara meminta dan berusaha.

Wallahu'alam bish-shawab.

0 komentar: